bagaimana dengan kondisi perekonomian pada tahap pemerintahan sby
Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2009
Kondisi perekonomian global yang masih mengalami tekanan akibat krisis menghadapkan perekonomian
Menghadapi tantangan tersebut, Bank
Berbagai capaian positif yang mampu diraih perekonomian
Ke depan, pertumbuhan ekonomi
Kebijakan Bank
Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2008
Di Indonesia, imbas krisis mulai terasa terutama menjelang akhir 2008. Setelah mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 6% sampai dengan triwulan III-2008, perekonomian
Semakin terintegrasinya perekonomian global dan semakin dalamnya krisis menyebabkan perekonomian di seluruh negara akan mengalami perlambatan pada tahun 2009.
Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional
Sepanjang 2010, tekanan inflasi global meningkat seiring dengan pemulihan ekonomi global dan peningkatan harga komoditas global. Inflasi di negara maju maupun negara berkembang meningkat, masing-masing mencapai 1,5% dan 6,3% di 2010, dibandingkan 0,1% dan 5,2% di 2009. Tekanan inflasi di kawasan Aspac meningkat signifikan yang tercermin dari peningkatan inflasi telah melebihi target bahkan gejala overheating perekonomian juga mulai tampak di beberapa negara. Meningkatnya harga pangan akibat ganguan pasokan dan harga energi seiring dengan kuatnya permintaan berada di balik peningkatan tekanan inflasi tersebut. Sementara di negara maju peningkatan tekanan inflasi masih terkendali seiring dengan masih lemahnya konsumsi.
Ke depan, pemulihan ekonomi global dengan kecepatan yang berbeda masih berlanjut. IMF memproyeksi pertumbuhan ekonomi global di 2011 dan 2012 masing-masing sebesar 4,4% dan 4,5%. Pertumbuhan negara maju lebih moderat, ditopang oleh berlanjutnya kebijakan akomodatif terutama di AS dan Jepang berupa quantitative easing tahap II di akhir 2010. Kuatnya pertumbuhan ekonomi Jerman diharapkan mampu meng-offset penurunan pertumbuhan ekonomi di negara peripheri kawasan Euro yang sedang dalam proses pemulihan krisis fiskal. Sementara negara berkembang terutama Kawasan Aspac tetap tumbuh kuat walaupun dengan kecepatan ekspansi yang lebih moderat. Proyeksi tersebut mencerminkan kuatnya permintaan domestik di sebagian besar negara di kawasan, terutama
Perekonomian Indonesia
pada triwulan II-2010 menunjukkan penguatan ekonomi yang terus berlanjut.
Optimisme tersebut didukung oleh kinerja investasi dan ekspor yang tumbuh lebih
tinggi, seiring dengan perbaikan ekonomi global. Kondisi perekonomian yang
semakin menunjukkan suasana optimis tersebut mendukung prospek ekonomi lebih
baik dari perkiraan semula. Perekonomian Indonesia di tahun 2010 diperkirakan
tumbuh menuju batas atas kisaran 5,5%-6,0% dan pada tahun 2011 mencapai
6,0%-6,5%. Dari sisi harga, tekanan inflasi sepanjang triwulan II-2010
menunjukkan peningkatan yang disebabkan oleh kelompok volatile food, yaitu dari
aneka bumbu dan beras. Sementara itu, kelompok administered prices dan inflasi
inti memberi kontribusi yang menimal terhadap perkembangan harga sepanjang
triwulan II-2010. Dengan demikian, secara keseluruhan tahun, inflasi IHK tahun
2010 akan tetap berada pada kisaran sasaran inflasi sebesar 5%±1%.....
Sumber : http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Jurnal+Ekonomi/BEMP_Juli_2010.htm
Kemampuan SBY Mengawal
Apresiasi Publik
Editor: jimbon
Senin, 19 Oktober 2009 | 07:13 WIB
SUWARDIMAN
KOMPAS.com - Sisi lebih pemerintahan Yudhoyono sepanjang Popularitas pemerintah sepanjang
Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan berkala setiap triwulan, apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah tampak terkait erat dengan fenomena sosial ekonomi yang terjadi sebagai akibat dari kebijakan pemerintah.
Sepanjang memerintah, fakta menunjukkan bahwa apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial cenderung lebih rendah dibandingkan dengan apresiasi terhadap bidang-bidang lainnya. Relatif lebih rendahnya apresiasi publik ini terjadi pada setiap penetapan kebijakan tidak populer, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak.
Sebagai gambaran, apresiasi publik pada pemerintah tampak merosot tajam pada periode setahun pertama pemerintahan Yudhoyono. Pasalnya, kebijakan menaikkan harga BBM pada bulan Oktober 2005 disambut publik dengan respons negatif. Jika hasil jajak pendapat sebelum kebijakan kenaikan harga menunjukkan 48,1 persen responden yang menyatakan puas atas kinerja pemerintah di bidang ekonomi, tiga bulan berikutnya hanya 32,4 > Fenomena lain menunjukkan, melorotnya apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah terus terjadi selama tiga tahun pertama. Di bidang ekonomi, titik terendah penilaian publik terjadi pada bulan ke-42. Pada saat itu, hanya 27,3 persen yang menyatakan kepuasan mereka.
Bidang perekonomian memang menjadi batu ujian bagi kinerja pemerintahan. Data makro, seperti pertumbuhan ekonomi, apabila di periode tiga bulan terakhir pada tahun 2004 sempat tercatat 6,4 persen, pada bulan-bulan berikutnya melorot ke angka 4,6 persen.
Sementara itu, jumlah penduduk miskin pada tahun pertama pemerintahan tercatat 36,1 juta jiwa atau 16,6 persen, sempat meningkat menjadi 17,8 persen pada tahun 2006.
Demikian pula kebijakan impor beras terjadi di awal tahun 2006, yang membawa persoalan bagi para petani akibat harga gabah a 16pt;">Ketika pemerintah masih berkutat pada persoalan melemahnya kondisi ekonomi, krisis ekonomi global terjadi. Segenap aktivitas perekonomian pun dihadapi bayang-bayang kelesuan. Apa daya, pertumbuhan ekonomi
Tak pelak, sejumlah target dan janji pemerintahan Yudhoyono, seperti yang ditetapkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009, pada persoalan perekonomian dan kesejahteraan kurang dapat terpenuhi.
Di sisi lain, kecenderungan melemahnya apresiasi publik atas kinerja pemerintah di bidang nonekonomi juga terjadi. Namun, jika penurunan apresiasi publik di bidang ekonomi terjadi semenjak tahun pertama jalannya pemerintahan, di bidang nonekonomi, seperti penegakan hukum, politik, dan keamanan, terjadi setelah dua tahun usia pemerintahan.
Di bidang hukum, penilaian positif publik terhadap pemerintahan SBY secara konsisten disampaikan oleh lebih dari separuh responden selama 18 bulan pertama. Boleh jadi hal demikian dipicu oleh komitmen Yudhoyono di awal pemerintahannya untuk membenahi persoalan hukum di negeri ini.
Pemberantasan korupsi adalah agenda yang mendapat sorotan paling tinggi. Semangat memberantas korupsi di awal pemerintahan langsung diartikulasikan dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Disusul kemudian dengan pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lewat Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 yang ditandatangani Presiden Yudhoyono, 2 Mei 2005.
Selama 100 hari pertama pemerintahan, Presiden memberikan izin kepada Polri dan Kejaksaan Agung untuk menyelidiki dan memeriksa sedikitnya 35 pejabat negara. Selama satu tahun pertama jumlah kasus pada tahap pendakwaan yang selesai ditangani Kejaksaan Agung meningkat dari 586 kasus pada tahun 2004 menjadi 637 kasus pada tahun 2005.
Sayangnya, memasuki tahun ketiga, apresiasi atas kinerja bidang hukum beralih dan terus melorot. Terungkapnya sejumlah skandal aparat hukum yang terlibat korupsi mencoreng citra pemerintah dan boleh jadi merupakan faktor yang menggiring meningkatnya persepsi negatif publik atas kinerja aparat hukum.
Begitulah, gencarnya pemberitaan media soal aparat yang seharusnya menjadi ujung tombak penegakan hukum, tetapi malah terlibat dalam lingkaran korupsi, meredupkan kepercayaan publik pada pemerintah.
Menariknya, redupnya kepercayaan publik terhadap pemerintah terjadi pula di bidang persoalan lain, seperti halnya politik dan keamanan. Sekalipun kondisi politik dan keamanan relatif stabil, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ini turut melorot.
Tampaknya ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah di bidang perekonomian dan hukum turut memengaruhi kadar kepuasan mereka terhadap kinerja pemerintah secara keseluruhan.
Titik balik
Bagi pemerintah, tidak selamanya keterpurukan dialami. Setahun menjelang berakhirnya periode
Lagi-lagi, kebijakan pemerintah tampak memengaruhi apresiasi publik. Di bidang ekonomi, yang sebelumnya menjadi persoalan yang utama penurunan apresiasi malah justru terdongkrak paling signifikan dibandingkan dengan bidang-bidang lain.
Keputusan pemerintah menurunkan harga BBM pada Desember 2008 menjadi titik kunci peningkatan popularitas pemerintahan Yudhoyono. Hasil pengumpulan opini publik pada bulan ke-51 pemerintahan Yudhoyono menunjukkan, hampir 60 persen responden yang menyatakan kepuasan mereka atas kinerja perekonomian. Padahal, dalam survei tiga bulan sebelumnya, kurang dari separuh responden yang menyampaikan apresiasi serupa.
Momentum positif semacam ini terus berlanjut hingga tahun terakhir usia pemerintahannya. Berbagai kebijakan di bidang perekonomian, seperti kebijakan bersifat populis yang mencoba mengangkat keterpurukan ekonomi rakyat miskin, semakin memperkuat citra pemerintah.
Tatkala tahun 2009 perhatian masyarakat tersorot pada pesta demokrasi, Yudhoyono memetik buah kebijakannya. Peningkatan citra Yudhoyono berimbas pada meningkatnya apresiasi publik pada pemerintahan yang dipimpinnya. Apresiasi positif publik mencapai titik tertinggi pada usia pemerintahan di bulan ke-57, Juli 2009. Saat itu proporsi publik yang merasa puas pada kinerja pemerintah rata-rata di atas 70 persen.
Kemampuan membalikkan keadaan, dari keterpurukan penilaian menjadi peningkatan apresiasi publik semacam ini, menjadi kunci keberhasilan pemerintahan Yudhoyono. Sekalipun kondisi aktual bisa jadi tidak selalu sama dengan apa yang dipersepsikan publik, tampaknya pemerintah berhasil memikat hati rakyatnya.
Kondisi semacam ini pula yang membedakan antara penilaian publik terhadap pemerintah saat ini dan sebelumnya.
Ketika era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri berlangsung, sebenarnya fenomena penurunan apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah juga berlangsung dari tahun ke tahun. Namun, pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, penurunan apresiasi publik terus-menerus terjadi hingga masa jabatan kepresidenannya diakhiri tanpa adanya titik balik peningkatan.
Presiden Megawati Soekarnoputri pun mengalami nasib sama sekalipun pada bulan-bulan terakhir kepemimpinannya apresiasi publik menunjukkan peningkatan. Hanya saja, peningkatan apresiasi publik yang diraihnya tidak cukup mampu memberikan momentum politik untuk mengangkatnya kembali menjadi presiden.
(LITBANG KOMPAS)
sumber : Sumber : http://nasional.kompas.com.
Catatan Empat Tahun Kinerja Perekonomian
Pemerintahan SBY – JK
Empat Tahun pemerintahan SBY – JK,
pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami pasang surut. Diawal pemerintahan pada
Oktober 2004 hingga tahun 2006, pemerintahan SBY – JK (berkaca pada pencapaian
pertumbuhan tahun 2005 dan 2006) mensia-siakan momentum percepatan pertumbuhan
yang telah diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya (Megawati Soekarno Putri).
Stabilitas Ekonomi dan Akselerasi Perekonomian yang telah dicapai oleh
pemerintahan Megawati tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintahan
SBY – JK untuk melakukan pencapaian percepatan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun
2007, momentum percepatan sudah kembali hadir yang dapat dilihat pada
pencapaian target pertumbuhan mencapai 6.3 persen meskipun kondisi ini masih
sangat riskan dipertahankan dengan memperhatikan gejolak global (kenaikan harga
minyak dan komoditas pangan) yang sedang terjadi di akhir-akhir penghujung
tahun 2007 hingga saat ini dan juga bergantung ketahanan perekonomian domestik
Indonesia sendiri. Momentum yang relatif sudah kembali ini, akan dapat
dipertahankan apabila kondisi menyeluruh perekonomian yang dicapai dengan
pencapaian pertumbuhan 6.3 persen pada tahun 2007 mampu bertahan kokoh
menghadapi gejolak eksternal (global) yang sedang terjadi hingga tahun 2008.
Apabila kita
berkaca pada pencapaian pemerintahan Megawati yang mampu menciptakan stabilitas
ekonomi serta akselerasi pertumbuhan yang konsisten dan tidak disia-siakan oleh
pemerintahan SBY di dua tahun awal pemerintahannya, maka pencapaian target
pertumbuhan pada RPJM sebesar 7.2 persen pada tahun 2007 tidak tak mungkin
dapat teralisasi.
Gejolak perekonomian global yang
dimulai dengan kasus sub-prime mortage di Amerika Serikat, bergejolaknya harga
minyak dunia dan beberapa komoditas pangan serta krisis finansial global yang
sedang terjadi menjadi tantangan berat bagi pemerintahan sekarang untuk
melanjutkan momentum pertumbuhan yang sudah kembali tersebut. Keberlanjutan
momentum ini juga tergantung pada kualitas dan besarnya daya tahan perekonomian
yang tercipta hingga tahun 2007 yang silam. Apabila kualitas dan daya tahan
perekonomian tidak tereflesikan secara simetris dengan angka pencapaian
pertumbuhan yang relatif baik hingga akhir tahun 2007, maka kondisi
perekonomian Indonesia sangatlah rawan rontok dalam menghadapi imbas gejolak
eksternal yang sedang terjadi.
Pola
Pertumbuhan Sektoral
Selama empat tahun
terakhir, pola pertumbuhan sektoral masih menunjukkan kesenjangan yang masih
cenderung lebar antara sektor tradable dan non-tradable. Pertumbuhan sektor
tradable yang relatif jauh dibawah pertumbuhan PDB, sebaliknya pertumbuhan non-tradable
yang selalu jauh diatas pertumbuhan PDB.
Sektor yang
mencapai pertumbuhan terbesar pada sektor non – tradable adalah sektor
Transportasi dan Komunikasi yang mencapai rata-rata hampir 14 persen pada empat
tahun terakhir. Sedangkan di sektoral tradable, sektor manufaktur memiliki
pertumbuhan tertinggi secara rata-rata pada 4 tahun terakhir.
Pola pertumbuhan sektor yang
menunjukkan kesenjangan yang cenderung semakin melebar menimbulkan suatu
kejadian anomali ekonomi. Dimana kondisi kesenjangan Sektoral tradable dan
non-tradable lazimnya terjadi di negara-negara yang sudah melalui tahapan
industrialisasi yang matang, sementara Indonesia masih dalam tahap pematangan
di tahap industrialisasi. Pada proses pematangan industrialisasi, peranan
sektor manufaktur masih bisa dipacu hingga 35 hingga 40 persen dari PDB, akan
tetapi kondisi yang terjadi di Indonesia peranan sektor manufaktur masih
dibawah 30 persen. Bahkan peranan sektor manufaktur memiliki kecenderungan
stagnan dan pada tahun 2007 lalu mengalami penerunan meskipun penerunannya
tidak terlalu besar. Kecenderungan stagnasi dan menurunnya sektor manufaktur
mengiindikasikan adanya tanda-tanda Indonesia mengalami de-industrialisasi
dini.
Kondisi kecenderungan makin
melebarnya kesenjangan sektor tradable dan non-tradable dan stagnan serta
relatif kecenderungan menurunnya sektor manufaktur menandakan kualitas pertumbuhan
sektoral tidak optimal, sehingga sangat sulit diharapkan memberikan dampak
berarti bagi pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran serta pemerataan
pendapatan.
Sumber :
http://robbyalexandersirait.wordpress.com/2008/12/09/catatan-empat-tahun-kinerja-perekonomian-pemerintahan-sby-–-jk-
Solusi Indonesia
Segera Bentuk Kepemimpinan Kolegial
Program pemberantasan Korupsi yang dicanangkan SBY terlihat nyata dijalankan dengan setengah hati dan tidak sungguh-sungguh ada apa dengan ini ? Apakah ada kaitannya dengan kasus Bank Century, kasus IPO saham Karakatau Steel dan lain-lain kasus ? yang dikaitkan dengan Partai Demokrat. Kasus-kasus manipulasi besar tidak pernah tuntas diselesaikan sehingga menambah kumulasi sakit hati rakyat banyak.
Pada tabel Peningkatan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2010 (PERC) nilai IPK Indonesia sama dengan IPK tahun 2009 yaitu 9,27 artinya tidak ada kemajuan pemberantasan korupsi di Indonesia dan kita masih merupakan negara terkorup di Asia Pasifik.
Dampak Korupsi pada Pertumbuhan Investasi dan Belanja Pemerintah, bahwa korupsi secara langsung dan tidak langsung adalah penghambat pertumbuhan investasi. Berbagai organisasi ekonomi dan pengusaha asing di seluruh dunia, menyadari bahwa suburnya korupsi di suatu negara adalah ancaman serius bagi investasi yang ditanam.
Disamping ketidakmampuan pemberantasan Korupsi, SBY juga menampakkan kepanikan dibidang ekonomi yaitu menaikkan harga BBM dengan cara kuno dengan mengatakan penghapusan subsidi BBM untuk Premium serta mobil pribadi dilarang menggunakan BBM Premium (Rp. 4.500.-) dan diarahkan kepada Pertamax (Rp.6.600,-). Disisi lain BBM Solar Pemerintah masih bingung menaikkan harganya.
Sebelumnya ada kepanikan lain yaitu Kabinet Indonesia Bersatu II, dengan dicuatkannya REDENOMINASI oleh BI tanpa ada pengawasan MenkoEkuin. Rencana REDENOMINASI adalah perampokan terhadap uang rakyat yaitu penggal rupiah dari Rp.1000 jadi Rp.1 karena kegagalan ekonomi Nasional yang dijalankan selama dua periode SBY. Presiden SBY bukannya memperkuat fundamental ekonomi Nasional lebih dahulu. Sudah saatnya rakyat melakukan perhitungan terhadap pemerintah utk menyelamatkan Negara
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa kondisi utang
Untuk
Utang pemerintah
Berdasarkan nota keuangan RAPBN 2011, pada tahun depan diperkirakan utang
Dengan utang yang tinggi ini, timbul pertanyaan mengenai kesinambungan kebijakan fiskal kita. Bila investor (baik domestik maupun asing) menganggap utang sudah membahayakan keadaan fiskal kita, tentunya mereka akan segera melepas surat-surat utang dan segera hengkang dari pasar utang pemerintah kita. Sebagian akan melarikan uangnya ke luar negeri dan rupiah pun akan terpuruk. Dampak yang lebih buruk lagi adalah, baik pemerintah, maupun swasta, menjadi kesulitan melakukan pinjaman, baik dalam negeri, maupun luar negeri. Akibatnya, pembiayaan APBN menjadi sulit dan pembangunan perekonomian pun akan terganggu. Kumulasi kondisi ekonomi
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) rakyat miskin di
Kenyataan yang sangat ironis dan menyedihkan terjadi, pendapatan setiap Anggota DPR-RI :
Gaji Pokok …… Rp. 15.510.000,- Tunjangan Listrik …. Rp. 5.496.000,- Tunjangan Aspirasi ….. Rp.7.200.000,- Tunjangan Kehormatan …. Rp. 3.150.000,- Tunjangan Komunikasi …. Rp. 12.000.000,- Tunjangan Pengawasan …. Rp. 2.100.000,- Total Penerimaan Rp. 46.100.000,-/Bulan per Tahun Rp. 554.000.000,-.
Gaji ke 13 .. Rp. 16.400.000,- Dana penyerapan (reses) Rp. 31.500.000,- (ada 4 kali reses setahun maka penerimaan reses setahun Rp. 118.000.000,- Dana intensif pembaharu rancangan UU dan honor melalui uji kebijakan-kelayakan dan kepatutan Rp. 5.000.000,-/kegiatan Dana kebijakan intensive/legislative Rp. 1.000.000,-/RUU. Berdasarkan data Tahun 2007 dana yang diterima setiap Anggota DPR-RI sejumlah Rp. 787.100.000,- (tujuh ratus delapan puluh tujuh juta seratus ribu rupiah).
Dampak yang akan terjadi mulai pada Januari 2011 adalah inflasi yang naik serta harga kebutuhan hidup semakin menggila naiknya. Keluarga miskin semakin mengenaskan sementara keluarga menengah menjadi miskin. Kondisi kepanikan Pemerintah ini diperparah dengan akan direalisasikannya pengenaan pajak kepada pedagang Nasi Warteg dan bidang ekonomi kecil lainnya sementara itu, para perusahaan besar penipu pajak dibiarkan bebas seperti yang terbukti pada kasus mafia pajak Gayus. Kepanikan Pemerintah dalam bidang ekonomi ini menggambarkan kegagalan yang sangat serius Pemerintah SBY sementara para mafia pajak, mafia hukum, mafia kepolisian, mafia minyak (BBM) yang merugikan rakyat hingga 2,4 juta dolar AS per hari,. lebih maha berkuasa dari pemerintah.
Melihat kinerja Pemerintah selama ini berjalan,
Kasus Gayus telah merefleksikan kebusukan perpajakan, hukum, kejaksaan, kehakiman, juga para perusahaan PMA dan PMDN pengemplang pajak serta Pemerintahan di Indonesia. Model si Mafia Gayus yang jauh masih lebih banyak yang ada di pusat dan daerah belum terungkap cepat yang bisa melibatkan ribuan perusahaan PMA dan PMDN serta perusahaan lainnya yang selama ini memanipulasi Pajak bernilai ratusan Triliun rupiah bahkan bisa mencapai ribuan Triliun. Ditambah parah lagi dengan korupsi APBN dan APBD para pegawai negeri di pusat maupun di daerah yang tidak mungkin bisa diatasi oleh
Berdasarkan hasil penelitian Rimawan dari UGM, sebanyak ±Rp 73,07 triliun dana telah dikorupsi oleh 540 koruptor pada tahun 2008 serta bertambah jumlahnya sampai 2011. Kendati demikian, tuntutan jaksa tentang uang yang harus dikembalikan koruptor hanya Rp 32,41 triliun. Umunya terpidana melakukan banding ke Mahkamah Agung (MA). Kemudian oleh MA memutuskan, hanya Rp.5,32 triliun saja dana yang harus dikembalikan ke negara. Mahkamah Agung kita juga harus segera direformasi dan dibenahi.
“Bayangkan hanya 7,29 persen dana yang mesti dikembalikan ke Negara,” kata Rimawan “Lalu siapa yang menanggung kerugian sebesar Rp 73,07 triliun itu ? Tentu saja pemerintah SBY-Budiono akan membebani rakyat sebagai pembayar pajak yang baik,” kata Rimawan, Sabtu 27 Februari 2010.
Kondisi pemerintahan
Mencermati sumpah PNS, sangat banyak para PNS kita yang sangat berani menipu Allah SWT. Kalau Allah SWT.saja berani mereka tipu apalagi kita sebagai rakyat
Keberadaan KPK yang hanya dipusat, tidak mungkin bisa melakukan penuntasan semua kasus ini bila didaerah tidak dibangun keberadaan KPK-Daerah yang terdiri dari orang-orang terpercaya. Harus segera ada revolusi hukum di
Rakyat
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2011/02/15/solusi-indonesia-segera-bentuk-kepemimpinan-kolegial/
Evaluasi Kinerja 1 Tahun SBY – Boediono Bidang Perindustrian
· Target Perekonomian Makro 2010
Dalam buku penjelasan tentang visi – misi SBY – Boediono
saat mencalonkan diri dalam Pemilu 2009, dapat ditemukan beberapa targetan
pemerintahan yang berkaitan dengan perkonomian-perindustrian untuk 2009 – 2014.
Meskipun memang tidak secara spesifik ditampilkan target tiap tahunnya, namun
kita bisa mengambil beberapa acuan untuk kemudian dijadikan bahan evaluasi
terhadap kinerja pemerintahannya.
Target pertama yang perlu kita soroti adalah mengenai
pertumbuhan ekonomi bangsa. Dalam proposalnya tersebut dikatakan bahwa target
yang hendak SBY capai hingga 2014 adalah pertumbuhan ekonomi minimal 7%.[1] Target
pertumbuhan ini adalah target yang hampir sama saat sebelum krisis moneter
tahun 1998. Sehingga bisa dikatakan memang pada saat ini (pasca tahun 1998),
target Indonesia
adalah pemulihan perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari tren pertumbuhan
ekonomi yang terus meningkat pasca krisis. Perhatikan grafik berikut.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 1998
– 2008
Sumber: politikana.com
Hingga tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai
6,4%. Namun pertumbuhan ini lantas mengalami penurunan nilai di tahun 2009.
Krisis ekonomi global yang dimulai pada tahun 2008 dan terasa dampaknya hingga
tahun 2009 ternyata membuat pertumbuhan perekonomian Indonesia hanya tumbuh
sebesar 4,5%.[2] Indonesia
memang tergolong hebat dikarenakan kinerja perekonomiannya masih menunjukkan
angka positif walaupun kecil. Beberapa kalangan menilai hal ini dikarenan
struktur pasar Indonesia
cukup kuat, tertolong oleh adanya sektor riil yang berasal dari pihak UMKM
(Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Hal ini dikarenakan orientasi pemasaran
produk-produk UMKM adalah pada pasar domestik dan relatif kecil yang diekspor.
Selain itu, pelaku UMKM mempunyai motivasi yang kuat untuk mempertahankan
usahanya dan kegiatan produksi yang mengandalkan bahan-bahan baku lokal. Keunggulan lainnya yakni
karakteristik tenaga kerja di sektor ini yang tersedia cukup besar dan murah
serta berpendidikan rendah sehingga mempunyai mobilitas yang tinggi untuk
berpindah ke sektor lain.[3]
Pada tahun 2010, upaya pemulihan perekonomian
pasca krisis masih terus dilakukan. Hal ini diperkuat dengan perkiraan
pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan oleh BI yang menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi tahun 2010 diperkirakan akan menyentuh angka 5%.[4] Hingga,
apabila kita menggunakan metode regresi linear untuk memperkirakan pertumbuhan
perekonomian hingga 2014, secara teoritis hal ini mungkin saja terjadi dan
cukup feasible. Namun tentu saja hal inilah yang harus menjadi bahan
evaluasi kita bersama.
Namun, untuk menjaga perekonomian agar sesuai
dengan target tiap tahunnya, pemerintah seharusnya tetap mengambil langkah yang
telah terbukti baik dalam membangun basis perekonomian Indonesia yang
kuat. Basis yang kuat ini tiada lain adalah meningkatkan sektor riil. Hal ini
dikarenakan sektor riil adalah sektor yang paling besar porsinya dalam
menyumbang PDB (Pendapatan Domestik Bruto) Indonesia .[5] Untuk lebih
jelasnya, perhatikan tabel berikut.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2010)
Sektor industri pengolahan menempati urutan pertama
penyumbang PDB dengan tingkat kontribusi 25,4%. Sementara, dari UMKM, tingkat
kontribusi yang diberikan terhadap PDB lebih besar lagi. UMKM yang tersebar di
semua jenis lapangan usaha, jika dijumlahkan maka menyumbang kontribusi yang
sangat besar terhadap PDB Indonesia, yaitu sekitar 55,56%.
· Inflasi 2010
Salah satu
peran pemerintah dalam menjaga perkonomian adalah terkait stabilisasi.
Permasalahan stabilisasi yang biasanya menjadi problem adalah menjaga tingkat
inflasi dan pengangguran. Bagaimana agar kondisi perekonomian stabil adalah
menjaga inflasi agar tetap pada tingkat kewajarannya. Namun, sewajar apapun
inflasi, tetaplah ia bersifat merugikan. Inflasi yang biasa dikenal artinya
adalah kenaikan harga barang. Namun sejatinya, bukanlah kenaikan harga barang
yang terjadi, namun penurunan nilai mata uang kartal. Oleh karena itu,
benar adanya jika Prof. Henry Bruton dalam sebuah ceramah di Universitas Bombay bahwa inflasi
haruslah dipandang sebagai suatu instrumen kebijakan dan bukan mengontrol
inflasi sebagai dasar dari suatu kebijakan.[6]
Namun yang
ada sekarang adalah bahwa pemerintah kita, SBY – Boediono menjadikan indikator
inflasi sebagai sebuah target yang harus dikejar dengan beragam kebijakan yang
ada. Permasalahan yang timbul adalah ketika adanya kebijakan yang lain mengenai
distribusi pendapatan yang dikhawatirkan akan meningkatkan inflasi, seperti
kenaikan TDL 2010 kemarin. Janji pemerintahan SBY – Boediono adalah agar
inflasi tiap tahunnya berkisar 3 – 5%.[7]
Namun, target
ini pupus begitu saja jika kita melihat pada pencapaian yang dilakukan pada
inflasi tahun 2010. Menurut BPS, hingga bulan September 2010, tingkat inflasi
di Indonesia
sudah menyentuh angka 5,28%. Hal ini jelas merupakan kegagalan pemerintah dalam
melakukan stabilisasi ekonomi jika kita mengacu pada target yang telah
ditetapkan. Kemungkinan besar inflasi yang akan terjadi hingga akhir tahun
nantinya adalah lebih dari 6%. Inflasi cenderung meredistribusikan pendapatan
ke atas sehingga membuat jomplang keseimbangan terhadap keadilan ekonomi.
Selain itu, inflasi juga menimbulkan kontrol-kontrol harga dan subsidi pada
bahan-bahan pokok makanan untuk konsumsi. [8] Sehingga, pada
dasarnya kenaikan inflasi membuat warga semakin miskin, hal ini dikarenakan
jika dibandingkan dengan kenaikan pendapatan seseorang tiap tahun, inflasi
masih lebih tinggi. Kita belajar banyak akan hal ini dari fenomena hiper inflasi
yang menghantam Zimbabwe .
Mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Berbicara mengenai UMKM tentunya berbicara mengenai industri
yang sangat dekat dengan rakyat, industri yang paling banyak terdapat di
Indonesia, yang paling banyak menyerap tenaga kerja, yang sumbangsihnya
terhadap PDB adalah yang terbesar, dan yang terpenting adalah berkaitan dengan
karakter penduduk Indonesia mengenai jiwa wirausaha.
Sumber: KADIN, 2009
Jika kita
melihat dari pareto UMKM Indonesia di atas, maka 98,90% unit usaha yang ada di Indonesia
berasal dari usaha mikro. Selanjutnya, berturut-turut dengan ketimpangan yang
sangat jauh adalah usaha kecil, menengah, dan besar. UMKM memegang peranan
penting dalam kemajuan dan stabilitas perekonomian Indonesia dikarenakan tidak
terpengaruh langsung oleh investasi asing yang berbasiskan pada pertukaran
pasar modal dan pasar yang rentan terhadap dampak krisis global.
Kita sudah sedikit membahas di atas bahwa UMKM
memberi dampak yang baik terhadap kekuatan struktur perekonomian Indonesia , juga
terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal-hal ini dikaitkan dengan besarnya tenaga
kerja yang diserap UMKM dan besarnya PDB yang diberikan. PDB dari UMKM adalah
55,56% dari PDB nasional, sementara porsi UMKM dalam menyerap tenaga kerja
adalah berkisar 97,10%.[9]
Namun, isu
utama yang sering menjadi kendala bagi perkembangan UMKM adalah aksesbilitas
modal, paradigma “impor” lebih baik, dan lemahnya keterampilan dan inovasi.
terkait hal pertama menganai aksesbilitas modal, pemerintahan SBY – Boediono
kembali mencanangkan adanya kemudahan aksesbilitas modal kepada pelaku UMKM
yang dikenal dengan nama KUR (Kredit Usaha Rakyat). Target pemerintah pada tahun
ini untuk KUR adalah digelontorkannya dana segar sebanyak Rp20 triliun.
Terseok-seoknya
pembahasan mengenai RUU Lembaga Keuangan Mikro (LKM) membuat aksesbilitas modal
UMKM tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Padahal, kebutuhan modal dirasa
sangat penting. Hingga pada akhirnya pemerintah menerapkan program KUR yang
seharusnya hingga sekarang hal itulah yang harus kita kontrol kedepannya.
Pasalnya, sosialisasi mengenai KUR ini tidak berjalan dengan baik untuk
menyentuh segenap lapisan masyarakat, sehingga masih banyak masyarakat yang
kebingungan dalam memulai usahanya. [10]
Target pemerintah
pada bulan Juli kemarin adalah 50% dana KUR terserap oleh masyarakat dan threshold
target atas pemerintah adalah Rp18 triliun, sedangkan threshold target
bawah adalah berkisar Rp13 triliun. Namun, hingga 23 September 2010, penyaluran
KUR baru mencapai Rp7,7 triliun dengan 813.144 debitur. Hal ini jelas merupakan
kegagalan pemerintah dalam mencapai targetnya. Setidaknya, hingga Juli 2010
dana yang sudah tersalurkan adalah Rp9 triliun, namun mandeg hingga sekarang.[11]
Sedangkan, bila kita lihat dari permasalahan lainnya terkait
keterampilan dan inovasi, maka hal ini terkait dengan jiwa kewirausahaan. Sudah
ada dana yang digelontorkan pemerintah terkait pelatihan karakter kewirausahaan
yang dialihkan ke Kementrian Pendidikan Nasional. Sehingga salah satu segmen
besarnya adalah para pelajar dan mahasiswa. Kita mengenal dana tersebut sebagai
dana PMW – Program Mahasiswa Wirausaha. Namun hingga sekarang, dana segar PMW
belum juga cair. Hal inilah juga yang harus kita kawal kedepannya, terkait
pembangunan karakter wirausaha di antara para mahasiswa
Sumber : http://km.itb.ac.id/site/?p=502
1 Komentar:
Good point. thanks
15 Oktober 2019 pukul 19.17
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda