Senin, 14 Februari 2011

bagaimana dengan kondisi perekonomian pada tahap pemerintahan sby


Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2009

Ringkasan Eksekutif
       Kondisi perekonomian global yang masih mengalami tekanan akibat krisis menghadapkan perekonomian Indonesia pada sejumlah tantangan yang tidak ringan selama tahun 2009. Tantangan itu cukup mengemuka pada awal tahun 2009, sebagai akibat masih kuatnya dampak krisis perekonomian global yang mencapai puncaknya pada triwulan IV 2008. Ketidakpastian yang terkait dengan sampai seberapa dalam kontraksi global dan sampai seberapa cepat pemulihan ekonomi global akan terjadi, bukan saja menyebabkan tingginya risiko di sektor keuangan, tetapi juga berdampak negatif pada kegiatan ekonomi di sektor riil domestik. Kondisi tersebut mengakibatkan stabilitas moneter dan sistem keuangan pada triwulan I 2009 masih mengalami tekanan berat, sementara pertumbuhan ekonomi juga dalam tren menurun akibat kontraksi ekspor barang dan jasa yang cukup dalam. Kondisi tersebut menurunkan kepercayaan pelaku ekonomi di sektor keuangan dan sektor riil, serta berpotensi menurunkan berbagai kinerja positif yang telah dicapai dalam beberapa tahun sebelumnya.
Menghadapi tantangan tersebut, Bank Indonesia dan Pemerintah menempuh sejumlah kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta mencegah turunnya pertumbuhan ekonomi yang lebih dalam melalui kebijakan stimulus moneter dan fiskal. Berbagai kebijakan yang ditempuh pada tahun 2009 pada dasarnya masih merupakan lanjutan dari serangkaian kebijakan yang telah ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah pada triwulan IV 2008.  Serangkaian kebijakan yang ditempuh tersebut tidak saja berhasil menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, tetapi juga memperkuat daya tahan perekonomian domestik, sehingga kegiatan ekonomi dapat kembali membaik sejak triwulan II 2009. Keberhasilan tersebut juga tidak terlepas dari kebijakan yang secara sistematis telah ditempuh untuk memperkuat fundamental ekonomi dan keuangan pascakrisis 1997/1998. Secara umum, perekonomian Indonesia tahun 2009 telah mampu melewati tahun penuh tantangan tersebut dengan capaian yang cukup baik. Meskipun melambat dibandingkan dengan tahun 2008, pertumbuhan ekonomi tahun 2009 dapat mencapai 4,5%,  tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India. Perlambatan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar di tengah kontraksi perekonomian global dapat dihindari, karena struktur ekonomi yang banyak didorong oleh permintaan domestik. Setelah mengalami tekanan berat pada triwulan I 2009, stabilitas pasar keuangan dan makroekonomi juga semakin membaik sampai dengan akhir tahun 2009. Hal itu tercermin pada berbagai indikator di sektor keuangan seperti Currency Default Swap (CDS), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), imbal hasil (yield) SUN, dan nilai tukar yang membaik. Sementara itu, inflasi juga tercatat rendah 2,78%,  terendah dalam satu dekade terakhir.
Berbagai capaian positif yang mampu diraih perekonomian Indonesia pada 2009 telah semakin menguatkan optimisme akan berlanjutnya proses perbaikan kondisi perekonomian ke depan. Optimisme tersebut juga didukung oleh semakin membaiknya prospek pemulihan ekonomi global. Meskipun demikian, dinamika perekonomian ke depan masih dihadapkan pada sejumlah tantangan yang berpotensi menghambat akselerasi perbaikan ekonomi. Dari sisi eksternal, tantangan terutama berkaitan dengan dampak dari strategi mengakhiri langkah kebijakan yang ditempuh di masa krisis (exit strategy), yang antara lain berupa pelonggaran likuiditas dan ekspansi fiskal di negara maju. Tantangan eksternal juga berhubungan dengan terjadinya kecenderungan polarisasi perdagangan dunia, serta masih berlangsungnya ketidakseimbangan dalam kinerja perekonomian global. Dari sisi domestik, tantangan berkaitan dengan beberapa permasalahan yang masih dapat mengganggu efektivitas kebijakan moneter, seperti masih cukup besarnya ekses likuiditas perbankan, masih besarnya peranan investasi portofolio dalam struktur aliran modal masuk, masih munculnya potensi penggelembungan harga aset di pasar keuangan, masih dangkalnya pasar keuangan, dan berbagai permasalahan struktural di sektor riil.
        Ke depan, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan meningkat, sementara stabilitas harga tetap terjaga. Prospek pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh semakin pulihnya kinerja ekspor dan mulai meningkatnya kegiatan investasi. Membaiknya ekspor sejalan dengan perbaikan prospek perekonomian global termasuk negara-negara maju. Meningkatnya permintaan eksternal dan menguatnya permintaan domestik diperkirakan mendorong dunia usaha untuk mulai meningkatkan kapasitas produksi. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi tahun 2010 diperkirakan mencapai 5,5% - 6,0% (yoy). Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat, tekanan terhadap inflasi diperkirakan tetap terkendali dan berada pada kisaran sasaran inflasi tahun 2010 sebesar 5% ± 1% (yoy). Dalam perspektif yang lebih panjang, perekonomian Indonesia diprakirakan tetap membaik karena didukung oleh berbagai upaya peningkatan kapasitas, produktivitas, dan efisiensi perekonomian secara berkesinambungan. Akselerasi pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat dan diprakirakan mencapai kisaran 6,5% – 7,5% (yoy) pada tahun 2014. Peningkatan kapasitas perekonomian tersebut mendukung upaya menurunkan inflasi ke arah sasaran inflasi jangka menengah 4% + 1% (yoy). 
Kebijakan Bank Indonesia ke depan diarahkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan sebagai prasyarat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan dalam jangka panjang. Kebijakan moneter akan diarahkan secara konsisten dengan upaya pencapaian sasaran inflasi yang rendah baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Kebijakan perbankan diarahkan tetap memperkuat ketahanan perbankan sekaligus meningkatkan fungsi intermediasi perbankan, serta mendorong pendalaman pasar keuangan. Kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan untuk mendukung penciptaan stabilitas sistem keuangan serta peningkatan efektivitas transmisi kebijakan moneter.  Selain itu, Bank Indonesia akan semakin memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik dalam menjaga stabilitas makroekonomi maupun memperkuat momentum pemulihan ekonomi nasional.
Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2008

Gejolak krisis keuangan global telah mengubah tatanan perekonomian dunia. Krisis global yang berawal di Amerika Serikat pada tahun 2007, semakin dirasakan dampaknya ke seluruh dunia, termasuk negara berkembang pada tahun 2008. Sejumlah kebijakan yang sangat agresif di tingkat global telah dilakukan untuk memulihkan perekonomian. Di Amerika Serikat, sebagai episentrum krisis, kebijakan pemerintah baru yang menempuh langkah serius untuk mengatasi krisis, menjadi faktor positif yang dapat mengurangi pesimisme akan resesi yang berkepanjangan dan risiko terjadinya depresi. Sementara itu,kemauan negara-negara industri maju lainnya untuk berkoordinasi dalam kebijakan pemulihan ekonomi juga diharapkan dapat meningkatkan keyakinan pelaku pasar. Namun, proses berbagai lembaga keuangan memperbaiki struktur neracanya (deleveraging) yang diperkirakan masih terus berlangsung, serta dampak umpan balik dari sektor riil ke sektor keuangan, menyebabkan risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan global masih tinggi.
Di Indonesia, imbas krisis mulai terasa terutama menjelang akhir 2008. Setelah mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 6% sampai dengan triwulan III-2008, perekonomian Indonesia mulai mendapat tekanan berat pada triwulan IV-2008. Hal itu tercermin pada perlambatan ekonomi secara signifikan terutama karena anjloknya kinerja ekspor. Di sisi eksternal, neraca pembayaran Indonesia mengalami peningkatan defisit dan nilai tukar rupiah mengalami pelemahan signifikan. Di pasar keuangan, selisih risiko (risk spread) dari surat-surat berharga Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang mendorong arus modal keluar dari investasi asing di bursa saham, Surat Utang Negara (SUN), dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Secara relatif, posisi Indonesia sendiri secara umum bukanlah yang terburuk di antara negara-negara lain. Perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh sebesar 6,1% pada 2008. Sementara kondisi fundamental dari sektor eksternal, fiskal dan industri perbankan juga cukup kuat untuk menahan terpaan krisis global (Tabel 1). Meski demikian, dalam perjalanan waktu ke depan, dampak krisis terhadap perekonomian Indonesia akan semakin terasa.
Semakin terintegrasinya perekonomian global dan semakin dalamnya krisis menyebabkan perekonomian di seluruh negara akan mengalami perlambatan pada tahun 2009. Indonesia tak terkecuali. Bank Indonesia memperkirakan perekonomian Indonesia di tahun 2009 akan tumbuh melemah menjadi sekitar 4,0%, dengan risiko ke bawah terutama apabila pelemahan ekonomi global lebih besar dari yang diperkirakan. Penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut bukan sesuatu yang buruk apabila dibandingkan dengan banyak negara-negara lain yang diperkirakan tumbuh negatif. Oleh karenanya, upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk mencegah dampak krisis ini meluas lebih dalam, melalui kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor riil, menjadi penting untuk dilakukan di tahun 2009.
Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional

Pemulihan ekonomi global terus berlanjut dengan kecepatan yang berbeda di TW4-10. Pertumbuhan di negara maju tetap moderat seiring dengan pengangguran yang masih tinggi dan persisten, belum kuatnya konsumsi, serta meningkatnya kekhawatiran terhadap sustainabilitas fiskal. Di triwulan laporan, walaupun fundamental ekonomi masih lemah, pertumbuhan AS menguat sebagai dampak peningkatan konsumsi yang lebih baik dari perkiraan sebelumnya. Namun, kekhawatiran sustainabilitas fiskal negara maju meningkat seiring dengan merebaknya masalah fiskal di Irlandia, walaupun spillover krisis tersebut dapat di redam keluar wilayah dari Kawasan Euro. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi negara berkembang terutama di Kawasan Aspac, dimotori oleh China dan India, tetap kuat seiring dengan resiliennya permintaan domestik yang terus mendukung aktivitas ekonomi. Namun, ekspansinya lebih moderat dibandingkan semester pertama sebagai dampak melambatnya permintaan eksternal dan berkurangnya stimulus fiskal. Dengan perkembangan tersebut pertumbuhan Global secara tahunan di 2010 akan mencapai 5% yoy (WEO-IMF, Update Januari 2010), membaik dari kontraksi 0,6% yoy di 2009.
Sepanjang 2010, tekanan inflasi global meningkat seiring dengan pemulihan ekonomi global dan peningkatan harga komoditas global. Inflasi di negara maju maupun negara berkembang meningkat, masing-masing mencapai 1,5% dan 6,3% di 2010, dibandingkan 0,1% dan 5,2% di 2009. Tekanan inflasi di kawasan Aspac meningkat signifikan yang tercermin dari peningkatan inflasi telah melebihi target bahkan gejala overheating perekonomian juga mulai tampak di beberapa negara. Meningkatnya harga pangan akibat ganguan pasokan dan harga energi seiring dengan kuatnya permintaan berada di balik peningkatan tekanan inflasi tersebut. Sementara di negara maju peningkatan tekanan inflasi masih terkendali seiring dengan masih lemahnya konsumsi.
Ke depan, pemulihan ekonomi global dengan kecepatan yang berbeda masih berlanjut. IMF memproyeksi pertumbuhan ekonomi global di 2011 dan 2012 masing-masing sebesar 4,4% dan 4,5%. Pertumbuhan negara maju lebih moderat, ditopang oleh berlanjutnya kebijakan akomodatif terutama di AS dan Jepang berupa quantitative easing tahap II di akhir 2010. Kuatnya pertumbuhan ekonomi Jerman diharapkan mampu meng-offset penurunan pertumbuhan ekonomi di negara peripheri kawasan Euro yang sedang dalam proses pemulihan krisis fiskal. Sementara negara berkembang terutama Kawasan Aspac tetap tumbuh kuat walaupun dengan kecepatan ekspansi yang lebih moderat. Proyeksi tersebut mencerminkan kuatnya permintaan domestik di sebagian besar negara di kawasan, terutama China dan India. Sejalan dengan proyeksi tersebut, tekanan inflasi di kedua kawasan tetap tinggi, yaitu sebesar 1,6% di 2011 dan 2012 (kawasan negara maju), dan masing-masing 6,0% dan 4,8% pada 2011 dan 2012 (kawasan negara berkembang).
Perekonomian Indonesia pada triwulan II-2010 menunjukkan penguatan ekonomi yang terus berlanjut. Optimisme tersebut didukung oleh kinerja investasi dan ekspor yang tumbuh lebih tinggi, seiring dengan perbaikan ekonomi global. Kondisi perekonomian yang semakin menunjukkan suasana optimis tersebut mendukung prospek ekonomi lebih baik dari perkiraan semula. Perekonomian Indonesia di tahun 2010 diperkirakan tumbuh menuju batas atas kisaran 5,5%-6,0% dan pada tahun 2011 mencapai 6,0%-6,5%. Dari sisi harga, tekanan inflasi sepanjang triwulan II-2010 menunjukkan peningkatan yang disebabkan oleh kelompok volatile food, yaitu dari aneka bumbu dan beras. Sementara itu, kelompok administered prices dan inflasi inti memberi kontribusi yang menimal terhadap perkembangan harga sepanjang triwulan II-2010. Dengan demikian, secara keseluruhan tahun, inflasi IHK tahun 2010 akan tetap berada pada kisaran sasaran inflasi sebesar 5%±1%.....

Sumber : http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Jurnal+Ekonomi/BEMP_Juli_2010.htm
Kemampuan SBY Mengawal Apresiasi Publik
Editor: jimbon
Senin, 19 Oktober 2009 | 07:13 WIB


1
        Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat (16/10) pagi di Kantor Presiden menerima Taufik Kiemas, Ketua MPR-RI periode 2009-2014.


SUWARDIMAN
KOMPAS.com - Sisi lebih pemerintahan Yudhoyono sepanjang lima tahun berkuasa adalah kemampuannya membalikkan kondisi dari penurunan apresiasi publik menjadi peningkatan yang terjadi secara drastis hanya satu tahun terakhir masa kekuasaannya.
Popularitas pemerintah sepanjang lima tahun berkuasa sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang mereka hasilkan. Gambaran ini tampak betul jika melihat ekspresi kepuasan publik terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
      Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan berkala setiap triwulan, apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah tampak terkait erat dengan fenomena sosial ekonomi yang terjadi sebagai akibat dari kebijakan pemerintah.
Sepanjang memerintah, fakta menunjukkan bahwa apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial cenderung lebih rendah dibandingkan dengan apresiasi terhadap bidang-bidang lainnya. Relatif lebih rendahnya apresiasi publik ini terjadi pada setiap penetapan kebijakan tidak populer, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak.
Sebagai gambaran, apresiasi publik pada pemerintah tampak merosot tajam pada periode setahun pertama pemerintahan Yudhoyono. Pasalnya, kebijakan menaikkan harga BBM pada bulan Oktober 2005 disambut publik dengan respons negatif. Jika hasil jajak pendapat sebelum kebijakan kenaikan harga menunjukkan 48,1 persen responden yang menyatakan puas atas kinerja pemerintah di bidang ekonomi, tiga bulan berikutnya hanya 32,4 > Fenomena lain menunjukkan, melorotnya apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah terus terjadi selama tiga tahun pertama. Di bidang ekonomi, titik terendah penilaian publik terjadi pada bulan ke-42. Pada saat itu, hanya 27,3 persen yang menyatakan kepuasan mereka.
       Bidang perekonomian memang menjadi batu ujian bagi kinerja pemerintahan. Data makro, seperti pertumbuhan ekonomi, apabila di periode tiga bulan terakhir pada tahun 2004 sempat tercatat 6,4 persen, pada bulan-bulan berikutnya melorot ke angka 4,6 persen.
Sementara itu, jumlah penduduk miskin pada tahun pertama pemerintahan tercatat 36,1 juta jiwa atau 16,6 persen, sempat meningkat menjadi 17,8 persen pada tahun 2006.
        Demikian pula kebijakan impor beras terjadi di awal tahun 2006, yang membawa persoalan bagi para petani akibat harga gabah a 16pt;">Ketika pemerintah masih berkutat pada persoalan melemahnya kondisi ekonomi, krisis ekonomi global terjadi. Segenap aktivitas perekonomian pun dihadapi bayang-bayang kelesuan. Apa daya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan ketiga tahun 2009 hanya mampu mencapai poin 4,2 persen. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (Maret 2009) mencatat, angka pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 9,26 juta jiwa atau 8,14 persen dari total penduduk usia kerja.
Tak pelak, sejumlah target dan janji pemerintahan Yudhoyono, seperti yang ditetapkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009, pada persoalan perekonomian dan kesejahteraan kurang dapat terpenuhi.
Di sisi lain, kecenderungan melemahnya apresiasi publik atas kinerja pemerintah di bidang nonekonomi juga terjadi. Namun, jika penurunan apresiasi publik di bidang ekonomi terjadi semenjak tahun pertama jalannya pemerintahan, di bidang nonekonomi, seperti penegakan hukum, politik, dan keamanan, terjadi setelah dua tahun usia pemerintahan.
Di bidang hukum, penilaian positif publik terhadap pemerintahan SBY secara konsisten disampaikan oleh lebih dari separuh responden selama 18 bulan pertama. Boleh jadi hal demikian dipicu oleh komitmen Yudhoyono di awal pemerintahannya untuk membenahi persoalan hukum di negeri ini.
Pemberantasan korupsi adalah agenda yang mendapat sorotan paling tinggi. Semangat memberantas korupsi di awal pemerintahan langsung diartikulasikan dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Disusul kemudian dengan pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lewat Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 yang ditandatangani Presiden Yudhoyono, 2 Mei 2005.
Selama 100 hari pertama pemerintahan, Presiden memberikan izin kepada Polri dan Kejaksaan Agung untuk menyelidiki dan memeriksa sedikitnya 35 pejabat negara. Selama satu tahun pertama jumlah kasus pada tahap pendakwaan yang selesai ditangani Kejaksaan Agung meningkat dari 586 kasus pada tahun 2004 menjadi 637 kasus pada tahun 2005.
Sayangnya, memasuki tahun ketiga, apresiasi atas kinerja bidang hukum beralih dan terus melorot. Terungkapnya sejumlah skandal aparat hukum yang terlibat korupsi mencoreng citra pemerintah dan boleh jadi merupakan faktor yang menggiring meningkatnya persepsi negatif publik atas kinerja aparat hukum.
Begitulah, gencarnya pemberitaan media soal aparat yang seharusnya menjadi ujung tombak penegakan hukum, tetapi malah terlibat dalam lingkaran korupsi, meredupkan kepercayaan publik pada pemerintah.
Menariknya, redupnya kepercayaan publik terhadap pemerintah terjadi pula di bidang persoalan lain, seperti halnya politik dan keamanan. Sekalipun kondisi politik dan keamanan relatif stabil, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ini turut melorot.
Tampaknya ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah di bidang perekonomian dan hukum turut memengaruhi kadar kepuasan mereka terhadap kinerja pemerintah secara keseluruhan.
Titik balik
Bagi pemerintah, tidak selamanya keterpurukan dialami. Setahun menjelang berakhirnya periode lima tahun kepemimpinannya, sekonyong-konyong terjadi peningkatan apresiasi publik yang sangat signifikan terhadap kinerja pemerintah.
Lagi-lagi, kebijakan pemerintah tampak memengaruhi apresiasi publik. Di bidang ekonomi, yang sebelumnya menjadi persoalan yang utama penurunan apresiasi malah justru terdongkrak paling signifikan dibandingkan dengan bidang-bidang lain.
Keputusan pemerintah menurunkan harga BBM pada Desember 2008 menjadi titik kunci peningkatan popularitas pemerintahan Yudhoyono. Hasil pengumpulan opini publik pada bulan ke-51 pemerintahan Yudhoyono menunjukkan, hampir 60 persen responden yang menyatakan kepuasan mereka atas kinerja perekonomian. Padahal, dalam survei tiga bulan sebelumnya, kurang dari separuh responden yang menyampaikan apresiasi serupa.
Momentum positif semacam ini terus berlanjut hingga tahun terakhir usia pemerintahannya. Berbagai kebijakan di bidang perekonomian, seperti kebijakan bersifat populis yang mencoba mengangkat keterpurukan ekonomi rakyat miskin, semakin memperkuat citra pemerintah.
Tatkala tahun 2009 perhatian masyarakat tersorot pada pesta demokrasi, Yudhoyono memetik buah kebijakannya. Peningkatan citra Yudhoyono berimbas pada meningkatnya apresiasi publik pada pemerintahan yang dipimpinnya. Apresiasi positif publik mencapai titik tertinggi pada usia pemerintahan di bulan ke-57, Juli 2009. Saat itu proporsi publik yang merasa puas pada kinerja pemerintah rata-rata di atas 70 persen.
Kemampuan membalikkan keadaan, dari keterpurukan penilaian menjadi peningkatan apresiasi publik semacam ini, menjadi kunci keberhasilan pemerintahan Yudhoyono. Sekalipun kondisi aktual bisa jadi tidak selalu sama dengan apa yang dipersepsikan publik, tampaknya pemerintah berhasil memikat hati rakyatnya.
Kondisi semacam ini pula yang membedakan antara penilaian publik terhadap pemerintah saat ini dan sebelumnya.
Ketika era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri berlangsung, sebenarnya fenomena penurunan apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah juga berlangsung dari tahun ke tahun. Namun, pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, penurunan apresiasi publik terus-menerus terjadi hingga masa jabatan kepresidenannya diakhiri tanpa adanya titik balik peningkatan.
Presiden Megawati Soekarnoputri pun mengalami nasib sama sekalipun pada bulan-bulan terakhir kepemimpinannya apresiasi publik menunjukkan peningkatan. Hanya saja, peningkatan apresiasi publik yang diraihnya tidak cukup mampu memberikan momentum politik untuk mengangkatnya kembali menjadi presiden.
(LITBANG KOMPAS)
sumber : Sumber : http://nasional.kompas.com.


Catatan Empat Tahun Kinerja Perekonomian
Pemerintahan SBY – JK
           Empat Tahun pemerintahan SBY – JK, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami pasang surut. Diawal pemerintahan pada Oktober 2004 hingga tahun 2006, pemerintahan SBY – JK (berkaca pada pencapaian pertumbuhan tahun 2005 dan 2006) mensia-siakan momentum percepatan pertumbuhan yang telah diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya (Megawati Soekarno Putri). Stabilitas Ekonomi dan Akselerasi Perekonomian yang telah dicapai oleh pemerintahan Megawati tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintahan SBY – JK untuk melakukan pencapaian percepatan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2007, momentum percepatan sudah kembali hadir yang dapat dilihat pada pencapaian target pertumbuhan mencapai 6.3 persen meskipun kondisi ini masih sangat riskan dipertahankan dengan memperhatikan gejolak global (kenaikan harga minyak dan komoditas pangan) yang sedang terjadi di akhir-akhir penghujung tahun 2007 hingga saat ini dan juga bergantung ketahanan perekonomian domestik Indonesia sendiri. Momentum yang relatif sudah kembali ini, akan dapat dipertahankan apabila kondisi menyeluruh perekonomian yang dicapai dengan pencapaian pertumbuhan 6.3 persen pada tahun 2007 mampu bertahan kokoh menghadapi gejolak eksternal (global) yang sedang terjadi hingga tahun 2008.

Apabila kita berkaca pada pencapaian pemerintahan Megawati yang mampu menciptakan stabilitas ekonomi serta akselerasi pertumbuhan yang konsisten dan tidak disia-siakan oleh pemerintahan SBY di dua tahun awal pemerintahannya, maka pencapaian target pertumbuhan pada RPJM sebesar 7.2 persen pada tahun 2007 tidak tak mungkin dapat teralisasi.
         Gejolak perekonomian global yang dimulai dengan kasus sub-prime mortage di Amerika Serikat, bergejolaknya harga minyak dunia dan beberapa komoditas pangan serta krisis finansial global yang sedang terjadi menjadi tantangan berat bagi pemerintahan sekarang untuk melanjutkan momentum pertumbuhan yang sudah kembali tersebut. Keberlanjutan momentum ini juga tergantung pada kualitas dan besarnya daya tahan perekonomian yang tercipta hingga tahun 2007 yang silam. Apabila kualitas dan daya tahan perekonomian tidak tereflesikan secara simetris dengan angka pencapaian pertumbuhan yang relatif baik hingga akhir tahun 2007, maka kondisi perekonomian Indonesia sangatlah rawan rontok dalam menghadapi imbas gejolak eksternal yang sedang terjadi.
Pola Pertumbuhan Sektoral
Selama empat tahun terakhir, pola pertumbuhan sektoral masih menunjukkan kesenjangan yang masih cenderung lebar antara sektor tradable dan non-tradable. Pertumbuhan sektor tradable yang relatif jauh dibawah pertumbuhan PDB, sebaliknya pertumbuhan non-tradable yang selalu jauh diatas pertumbuhan PDB.

Sektor yang mencapai pertumbuhan terbesar pada sektor non – tradable adalah sektor Transportasi dan Komunikasi yang mencapai rata-rata hampir 14 persen pada empat tahun terakhir. Sedangkan di sektoral tradable, sektor manufaktur memiliki pertumbuhan tertinggi secara rata-rata pada 4 tahun terakhir.
           Pola pertumbuhan sektor yang menunjukkan kesenjangan yang cenderung semakin melebar menimbulkan suatu kejadian anomali ekonomi. Dimana kondisi kesenjangan Sektoral tradable dan non-tradable lazimnya terjadi di negara-negara yang sudah melalui tahapan industrialisasi yang matang, sementara Indonesia masih dalam tahap pematangan di tahap industrialisasi. Pada proses pematangan industrialisasi, peranan sektor manufaktur masih bisa dipacu hingga 35 hingga 40 persen dari PDB, akan tetapi kondisi yang terjadi di Indonesia peranan sektor manufaktur masih dibawah 30 persen. Bahkan peranan sektor manufaktur memiliki kecenderungan stagnan dan pada tahun 2007 lalu mengalami penerunan meskipun penerunannya tidak terlalu besar. Kecenderungan stagnasi dan menurunnya sektor manufaktur mengiindikasikan adanya tanda-tanda Indonesia mengalami de-industrialisasi dini.
           Kondisi kecenderungan makin melebarnya kesenjangan sektor tradable dan non-tradable dan stagnan serta relatif kecenderungan menurunnya sektor manufaktur menandakan kualitas pertumbuhan sektoral tidak optimal, sehingga sangat sulit diharapkan memberikan dampak berarti bagi pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran serta pemerataan pendapatan.
Sumber : http://robbyalexandersirait.wordpress.com/2008/12/09/catatan-empat-tahun-kinerja-perekonomian-pemerintahan-sby-–-jk-






Solusi Indonesia Segera Bentuk Kepemimpinan Kolegial


    Presiden SBY akhir-akhir ini menampakkan ketidak-mampuannya untuk membuktikan keberadaannya pada garis depan pemberantasan Korupsi. Hal ini terbukti dari pernyataan SBY sendiri yang mengatakan kasus Mafia Pajak tetap ditangani oleh Polisi sementara diketahui banyak masyarakat bahwa pejabat tinggi Polisi juga terlibat dengan Mafia Pajak itu sendiri bahkan Kejaksaan RI juga terlibat didalamnya.
Program pemberantasan Korupsi yang dicanangkan SBY terlihat nyata dijalankan dengan setengah hati dan tidak sungguh-sungguh ada apa dengan ini ? Apakah ada kaitannya dengan kasus Bank Century, kasus IPO saham Karakatau Steel dan lain-lain kasus ? yang dikaitkan dengan Partai Demokrat. Kasus-kasus manipulasi besar tidak pernah tuntas diselesaikan sehingga menambah kumulasi sakit hati rakyat banyak.
Pada tabel Peningkatan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2010 (PERC) nilai IPK Indonesia sama dengan IPK tahun 2009 yaitu 9,27 artinya tidak ada kemajuan pemberantasan korupsi di Indonesia dan kita masih merupakan negara terkorup di Asia Pasifik.
Dampak Korupsi pada Pertumbuhan Investasi dan Belanja Pemerintah, bahwa korupsi secara langsung dan tidak langsung adalah penghambat pertumbuhan investasi. Berbagai organisasi ekonomi dan pengusaha asing di seluruh dunia, menyadari bahwa suburnya korupsi di suatu negara adalah ancaman serius bagi investasi yang ditanam.
Disamping ketidakmampuan pemberantasan Korupsi, SBY juga menampakkan kepanikan dibidang ekonomi yaitu menaikkan harga BBM dengan cara kuno dengan mengatakan penghapusan subsidi BBM untuk Premium serta mobil pribadi dilarang menggunakan BBM Premium (Rp. 4.500.-) dan diarahkan kepada Pertamax (Rp.6.600,-). Disisi lain BBM Solar Pemerintah masih bingung menaikkan harganya.
Sebelumnya ada kepanikan lain yaitu Kabinet Indonesia Bersatu II, dengan dicuatkannya REDENOMINASI oleh BI tanpa ada pengawasan MenkoEkuin. Rencana REDENOMINASI adalah perampokan terhadap uang rakyat yaitu penggal rupiah dari Rp.1000 jadi Rp.1 karena kegagalan ekonomi Nasional yang dijalankan selama dua periode SBY. Presiden SBY bukannya memperkuat fundamental ekonomi Nasional lebih dahulu. Sudah saatnya rakyat melakukan perhitungan terhadap pemerintah utk menyelamatkan Negara Indonesia. Rencana konyol seperti ini bila ekonomi Indonesia tidak kuat dan devisa lemah, yg Rp.1 bisa secepatnya jadi senilai Rp 100 lalu Rp 1000 lagi dalam periode singkat. Hot money di Indonesia saat ini sangat besar dan ini sungguh berbahaya.
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa kondisi utang Indonesia sudah berada pada tahap krisis dan sudah sangat menghawatirkan sehingga mereka menghimbau kepada pemerintah agar tidak lagi melakukan peminjaman dana dari luar negeri. Bahkan issu utang luar negeri ini menjadi wacana kampanye para kandidat capres/cawapres 2009 lalu, Kekhawatiran masyarakat terhadap pembengkakan utang luar negeri ini di picu juga oleh issu ekonomi neoliberal (neolib) yang saat ini sudah masuk dalam ranah politik dan menjadi issu hangat dalam percaturan politik pilpres. dimana para pemegang kebijakan moneter Indonesia yang dituding beraliran neolib dan dekat dengan IMF dikwatirkan akan melakukan pinjaman luar negeri lagi.
Untuk Indonesia, kenaikan utang yang signifikan terjadi setelah krisis 1997-1998. Kenaikan ini guna membiayai BLBI, baik untuk menyelamatkan perbankan, maupun untuk merekapitalisasi dunia perbankan kita. Pada saat yang bersamaan, pelemahan rupiah juga membuat utang luar negeri kita dalam rupiah menjadi berlipat-lipat dalam waktu singkat. Akibat krisis tadi, utang pemerintah naik dari Rp 129 triliun tahun 1996 menjadi Rp 1.234 triliun tahun 2000. Naik hampir 10 kali lipat.
Utang pemerintah Indonesia era SBY periode Januari-Agustus 2010 tercatat sebesar Rp 1.654,19 triliun. Angka itu bertambah Rp 63,53 triliun dari posisi akhir tahun 2009 yang sebesar Rp 1.590,66 triliun. Angka ini juga meningkat dibanding akhir Juli 2010 yang sebesar Rp 1.625,63 triliun.
Berdasarkan nota keuangan RAPBN 2011, pada tahun depan diperkirakan utang Indonesia mencapai Rp 1.807,5 triliun, atau naik Rp 119,2 triliun dari proyeksi pemerintah dalam APBN-P 2010. Penerbitan surat utang menjadi penyumbang terbesar utang, yakni mencapai Rp 120 triliun. Sedangkan jumlah outstanding surat utang pemerintah diperkirakan mencapai Rp 1.197,1 triliun.
Dengan utang yang tinggi ini, timbul pertanyaan mengenai kesinambungan kebijakan fiskal kita. Bila investor (baik domestik maupun asing) menganggap utang sudah membahayakan keadaan fiskal kita, tentunya mereka akan segera melepas surat-surat utang dan segera hengkang dari pasar utang pemerintah kita. Sebagian akan melarikan uangnya ke luar negeri dan rupiah pun akan terpuruk. Dampak yang lebih buruk lagi adalah, baik pemerintah, maupun swasta, menjadi kesulitan melakukan pinjaman, baik dalam negeri, maupun luar negeri. Akibatnya, pembiayaan APBN menjadi sulit dan pembangunan perekonomian pun akan terganggu. Kumulasi kondisi ekonomi Indonesia ini akan mengakibatkan dampak kemunduran dibidang lainnya (efek domino).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) rakyat miskin di Indonesia berjumlah 32,53 juta, menurut data PBB kemiskinan di Indonesia mencapai 1,5 kalinya. Oleh karena itu alokasi anggaran kesehatan bagi rakyat miskin cuma Rp 152.704 per kepala per tahun atau Rp 12.809 per kepala per bulan. Jumlah inipun kebanyakan tidak sampai kepada semua rakyat yang miskin. Kemana uang untuk rakyat miskin ini ? Sementara anggaran untuk biaya Presiden setahun Rp. 800 Juta disamping gaji dan ratusan juta rupiah tunjangan lainnya.
Kenyataan yang sangat ironis dan menyedihkan terjadi, pendapatan setiap Anggota DPR-RI :
Gaji Pokok …… Rp. 15.510.000,- Tunjangan Listrik …. Rp. 5.496.000,- Tunjangan Aspirasi ….. Rp.7.200.000,- Tunjangan Kehormatan …. Rp. 3.150.000,- Tunjangan Komunikasi …. Rp. 12.000.000,- Tunjangan Pengawasan …. Rp. 2.100.000,- Total Penerimaan Rp. 46.100.000,-/Bulan per Tahun Rp. 554.000.000,-.
Gaji ke 13 .. Rp. 16.400.000,- Dana penyerapan (reses) Rp. 31.500.000,- (ada 4 kali reses setahun maka penerimaan reses setahun Rp. 118.000.000,- Dana intensif pembaharu rancangan UU dan honor melalui uji kebijakan-kelayakan dan kepatutan Rp. 5.000.000,-/kegiatan Dana kebijakan intensive/legislative Rp. 1.000.000,-/RUU. Berdasarkan data Tahun 2007 dana yang diterima setiap Anggota DPR-RI sejumlah Rp. 787.100.000,- (tujuh ratus delapan puluh tujuh juta seratus ribu rupiah).
Dampak yang akan terjadi mulai pada Januari 2011 adalah inflasi yang naik serta harga kebutuhan hidup semakin menggila naiknya. Keluarga miskin semakin mengenaskan sementara keluarga menengah menjadi miskin. Kondisi kepanikan Pemerintah ini diperparah dengan akan direalisasikannya pengenaan pajak kepada pedagang Nasi Warteg dan bidang ekonomi kecil lainnya sementara itu, para perusahaan besar penipu pajak dibiarkan bebas seperti yang terbukti pada kasus mafia pajak Gayus. Kepanikan Pemerintah dalam bidang ekonomi ini menggambarkan kegagalan yang sangat serius Pemerintah SBY sementara para mafia pajak, mafia hukum, mafia kepolisian, mafia minyak (BBM) yang merugikan rakyat hingga 2,4 juta dolar AS per hari,. lebih maha berkuasa dari pemerintah.
Melihat kinerja Pemerintah selama ini berjalan, Indonesia tidak akan mampu bangkit menuju 4 (empat) tahun kedepan. Jadi selama 4 tahun kedepan, rakyat Indonesia hanya dibebani oleh biaya Pemerintah SBY yang berjalan dengan penuh manipulasi/korupsi berjumlah ratusan triliun yang bisa untuk pembangunan ekonomi rakyat. Untuk menghambat kerugian negara selanjutnya, rakyat Indonesia harus segera melakukan upaya mekanisasi pencegahan kerugian negara dengan segera mengadakan REFERENDUM NASIONAL (untuk membekukan sementara UU Pemilu) serta MOSI TIDAK PERCAYA kepada Pemerintahan SBY dan menggantikannya dengan KEPEMIMPINAN KOLEGIAL yang dijalankan sebanyak 9 orang tokoh nasional yang jujur, disukai dan disayangi seluruh rakyat serta memimpin Indonesia selama 10 (sepuluh) tahun kedepan. Kepemimpinan Kolegial ini adalah untuk penghematan dana Pemilu serta bisa terapkan didaerah Propinsi dan Kabupaten. Masing-masing kesembilan tokoh tersebut membidangi beberapa sektor pembangunan Indonesia terpenting yang dibawahnya telah diangkat menteri yang professional pada bidangnya pula.
Kasus Gayus telah merefleksikan kebusukan perpajakan, hukum, kejaksaan, kehakiman, juga para perusahaan PMA dan PMDN pengemplang pajak serta Pemerintahan di Indonesia. Model si Mafia Gayus yang jauh masih lebih banyak yang ada di pusat dan daerah belum terungkap cepat yang bisa melibatkan ribuan perusahaan PMA dan PMDN serta perusahaan lainnya yang selama ini memanipulasi Pajak bernilai ratusan Triliun rupiah bahkan bisa mencapai ribuan Triliun. Ditambah parah lagi dengan korupsi APBN dan APBD para pegawai negeri di pusat maupun di daerah yang tidak mungkin bisa diatasi oleh gaya kepemimpinan SBY-Budiono.
Berdasarkan hasil penelitian Rimawan dari UGM, sebanyak ±Rp 73,07 triliun dana telah dikorupsi oleh 540 koruptor pada tahun 2008 serta bertambah jumlahnya sampai 2011. Kendati demikian, tuntutan jaksa tentang uang yang harus dikembalikan koruptor hanya Rp 32,41 triliun. Umunya terpidana melakukan banding ke Mahkamah Agung (MA). Kemudian oleh MA memutuskan, hanya Rp.5,32 triliun saja dana yang harus dikembalikan ke negara. Mahkamah Agung kita juga harus segera direformasi dan dibenahi.
“Bayangkan hanya 7,29 persen dana yang mesti dikembalikan ke Negara,” kata Rimawan “Lalu siapa yang menanggung kerugian sebesar Rp 73,07 triliun itu ? Tentu saja pemerintah SBY-Budiono akan membebani rakyat sebagai pembayar pajak yang baik,” kata Rimawan, Sabtu 27 Februari 2010.
Kondisi pemerintahan Indonesia sudah berada pada posisi yang sangat kritis dan harus diselamatkan sesegera mungkin dengan mewujudkan kepemimpinan KOLEGIAL.
Mencermati sumpah PNS, sangat banyak para PNS kita yang sangat berani menipu Allah SWT. Kalau Allah SWT.saja berani mereka tipu apalagi kita sebagai rakyat Indonesia. Manusia seperti ini sangat berbahaya bila diberi kesempatan menjabat di Pemerintah Pusat maupun Daerah.
Keberadaan KPK yang hanya dipusat, tidak mungkin bisa melakukan penuntasan semua kasus ini bila didaerah tidak dibangun keberadaan KPK-Daerah yang terdiri dari orang-orang terpercaya. Harus segera ada revolusi hukum di Indonesia secepat mungkin.
Rakyat Indonesia sudah sangat sabar selama ini dan tidak usah diberi pidato-pidato tentang kesabaran dan kini kesabaran itu sudah masuk pada batas kesabaran rakyat.
Indonesia tidak akan bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi bila masih dipimpin oleh para munafikun, para pecundang pejabat korupsi bin maling, perusak negara. Rakyat kini dan mendatang menunggu perubahan yang nyata dan dapat dirasakan secara bertahap dalam kehidupan rakyat sehari-hari dengan mewujudkan KEPEMIMPINAN KOLEGIAL.





Evaluasi Kinerja 1 Tahun SBY – Boediono Bidang Perindustrian



·       Target Perekonomian Makro 2010

Dalam buku penjelasan tentang visi – misi SBY – Boediono saat mencalonkan diri dalam Pemilu 2009, dapat ditemukan beberapa targetan pemerintahan yang berkaitan dengan perkonomian-perindustrian untuk 2009 – 2014. Meskipun memang tidak secara spesifik ditampilkan target tiap tahunnya, namun kita bisa mengambil beberapa acuan untuk kemudian dijadikan bahan evaluasi terhadap kinerja pemerintahannya.

Target pertama yang perlu kita soroti adalah mengenai pertumbuhan ekonomi bangsa. Dalam proposalnya tersebut dikatakan bahwa target yang hendak SBY capai hingga 2014 adalah pertumbuhan ekonomi minimal 7%.[1] Target pertumbuhan ini adalah target yang hampir sama saat sebelum krisis moneter tahun 1998. Sehingga bisa dikatakan memang pada saat ini (pasca tahun 1998), target Indonesia adalah pemulihan perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari tren pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat pasca krisis. Perhatikan grafik berikut.


Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 1998 – 2008
Sumber: politikana.com

Hingga tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,4%. Namun pertumbuhan ini lantas mengalami penurunan nilai di tahun 2009. Krisis ekonomi global yang dimulai pada tahun 2008 dan terasa dampaknya hingga tahun 2009 ternyata membuat pertumbuhan perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,5%.[2] Indonesia memang tergolong hebat dikarenakan kinerja perekonomiannya masih menunjukkan angka positif walaupun kecil. Beberapa kalangan menilai hal ini dikarenan struktur pasar Indonesia cukup kuat, tertolong oleh adanya sektor riil yang berasal dari pihak UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Hal ini dikarenakan orientasi pemasaran produk-produk UMKM adalah pada pasar domestik dan relatif kecil yang diekspor. Selain itu, pelaku UMKM mempunyai motivasi yang kuat untuk mempertahankan usahanya dan kegiatan produksi yang mengandalkan bahan-bahan baku lokal. Keunggulan lainnya yakni karakteristik tenaga kerja di sektor ini yang tersedia cukup besar dan murah serta berpendidikan rendah sehingga mempunyai mobilitas yang tinggi untuk berpindah ke sektor lain.[3]

Pada tahun 2010, upaya pemulihan perekonomian pasca krisis masih terus dilakukan. Hal ini diperkuat dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan oleh BI yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2010 diperkirakan akan menyentuh angka 5%.[4] Hingga, apabila kita menggunakan metode regresi linear untuk memperkirakan pertumbuhan perekonomian hingga 2014, secara teoritis hal ini mungkin saja terjadi dan cukup feasible. Namun tentu saja hal inilah yang harus menjadi bahan evaluasi kita bersama.

Namun, untuk menjaga perekonomian agar sesuai dengan target tiap tahunnya, pemerintah seharusnya tetap mengambil langkah yang telah terbukti baik dalam membangun basis perekonomian Indonesia yang kuat. Basis yang kuat ini tiada lain adalah meningkatkan sektor riil. Hal ini dikarenakan sektor riil adalah sektor yang paling besar porsinya dalam menyumbang PDB (Pendapatan Domestik Bruto) Indonesia.[5] Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel berikut.


Sumber: Badan Pusat Statistik (2010)

Sektor industri pengolahan menempati urutan pertama penyumbang PDB dengan tingkat kontribusi 25,4%. Sementara, dari UMKM, tingkat kontribusi yang diberikan terhadap PDB lebih besar lagi. UMKM yang tersebar di semua jenis lapangan usaha, jika dijumlahkan maka menyumbang kontribusi yang sangat besar terhadap PDB Indonesia, yaitu sekitar 55,56%.

·       Inflasi 2010

          Salah satu peran pemerintah dalam menjaga perkonomian adalah terkait stabilisasi. Permasalahan stabilisasi yang biasanya menjadi problem adalah menjaga tingkat inflasi dan pengangguran. Bagaimana agar kondisi perekonomian stabil adalah menjaga inflasi agar tetap pada tingkat kewajarannya. Namun, sewajar apapun inflasi, tetaplah ia bersifat merugikan. Inflasi yang biasa dikenal artinya adalah kenaikan harga barang. Namun sejatinya, bukanlah kenaikan harga barang yang terjadi, namun penurunan nilai mata uang kartal. Oleh karena itu, benar adanya jika Prof. Henry Bruton dalam sebuah ceramah di Universitas Bombay bahwa inflasi haruslah dipandang sebagai suatu instrumen kebijakan dan bukan mengontrol inflasi sebagai dasar dari suatu kebijakan.[6]

         Namun yang ada sekarang adalah bahwa pemerintah kita, SBY – Boediono menjadikan indikator inflasi sebagai sebuah target yang harus dikejar dengan beragam kebijakan yang ada. Permasalahan yang timbul adalah ketika adanya kebijakan yang lain mengenai distribusi pendapatan yang dikhawatirkan akan meningkatkan inflasi, seperti kenaikan TDL 2010 kemarin. Janji pemerintahan SBY – Boediono adalah agar inflasi tiap tahunnya berkisar 3 – 5%.[7]

        Namun, target ini pupus begitu saja jika kita melihat pada pencapaian yang dilakukan pada inflasi tahun 2010. Menurut BPS, hingga bulan September 2010, tingkat inflasi di Indonesia sudah menyentuh angka 5,28%. Hal ini jelas merupakan kegagalan pemerintah dalam melakukan stabilisasi ekonomi jika kita mengacu pada target yang telah ditetapkan. Kemungkinan besar inflasi yang akan terjadi hingga akhir tahun nantinya adalah lebih dari 6%. Inflasi cenderung meredistribusikan pendapatan ke atas sehingga membuat jomplang keseimbangan terhadap keadilan ekonomi. Selain itu, inflasi juga menimbulkan kontrol-kontrol harga dan subsidi pada bahan-bahan pokok makanan untuk konsumsi. [8] Sehingga, pada dasarnya kenaikan inflasi membuat warga semakin miskin, hal ini dikarenakan jika dibandingkan dengan kenaikan pendapatan seseorang tiap tahun, inflasi masih lebih tinggi. Kita belajar banyak akan hal ini dari fenomena hiper inflasi yang menghantam Zimbabwe.

Mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Berbicara mengenai UMKM tentunya berbicara mengenai industri yang sangat dekat dengan rakyat, industri yang paling banyak terdapat di Indonesia, yang paling banyak menyerap tenaga kerja, yang sumbangsihnya terhadap PDB adalah yang terbesar, dan yang terpenting adalah berkaitan dengan karakter penduduk Indonesia mengenai jiwa wirausaha.


Sumber: KADIN, 2009

         Jika kita melihat dari pareto UMKM Indonesia di atas, maka 98,90% unit usaha yang ada di Indonesia berasal dari usaha mikro. Selanjutnya, berturut-turut dengan ketimpangan yang sangat jauh adalah usaha kecil, menengah, dan besar. UMKM memegang peranan penting dalam kemajuan dan stabilitas perekonomian Indonesia dikarenakan tidak terpengaruh langsung oleh investasi asing yang berbasiskan pada pertukaran pasar modal dan pasar yang rentan terhadap dampak krisis global.

        Kita sudah sedikit membahas di atas bahwa UMKM memberi dampak yang baik terhadap kekuatan struktur perekonomian Indonesia, juga terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal-hal ini dikaitkan dengan besarnya tenaga kerja yang diserap UMKM dan besarnya PDB yang diberikan. PDB dari UMKM adalah 55,56% dari PDB nasional, sementara porsi UMKM dalam menyerap tenaga kerja adalah berkisar 97,10%.[9]


        Namun, isu utama yang sering menjadi kendala bagi perkembangan UMKM adalah aksesbilitas modal, paradigma “impor” lebih baik, dan lemahnya keterampilan dan inovasi. terkait hal pertama menganai aksesbilitas modal, pemerintahan SBY – Boediono kembali mencanangkan adanya kemudahan aksesbilitas modal kepada pelaku UMKM yang dikenal dengan nama KUR (Kredit Usaha Rakyat). Target pemerintah pada tahun ini untuk KUR adalah digelontorkannya dana segar sebanyak Rp20 triliun.

       Terseok-seoknya pembahasan mengenai RUU Lembaga Keuangan Mikro (LKM) membuat aksesbilitas modal UMKM tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Padahal, kebutuhan modal dirasa sangat penting. Hingga pada akhirnya pemerintah menerapkan program KUR yang seharusnya hingga sekarang hal itulah yang harus kita kontrol kedepannya. Pasalnya, sosialisasi mengenai KUR ini tidak berjalan dengan baik untuk menyentuh segenap lapisan masyarakat, sehingga masih banyak masyarakat yang kebingungan dalam memulai usahanya. [10]

     Target pemerintah pada bulan Juli kemarin adalah 50% dana KUR terserap oleh masyarakat dan threshold target atas pemerintah adalah Rp18 triliun, sedangkan threshold target bawah adalah berkisar Rp13 triliun. Namun, hingga 23 September 2010, penyaluran KUR baru mencapai Rp7,7 triliun dengan 813.144 debitur. Hal ini jelas merupakan kegagalan pemerintah dalam mencapai targetnya. Setidaknya, hingga Juli 2010 dana yang sudah tersalurkan adalah Rp9 triliun, namun mandeg hingga sekarang.[11]

Sedangkan, bila kita lihat dari permasalahan lainnya terkait keterampilan dan inovasi, maka hal ini terkait dengan jiwa kewirausahaan. Sudah ada dana yang digelontorkan pemerintah terkait pelatihan karakter kewirausahaan yang dialihkan ke Kementrian Pendidikan Nasional. Sehingga salah satu segmen besarnya adalah para pelajar dan mahasiswa. Kita mengenal dana tersebut sebagai dana PMW – Program Mahasiswa Wirausaha. Namun hingga sekarang, dana segar PMW belum juga cair. Hal inilah juga yang harus kita kawal kedepannya, terkait pembangunan karakter wirausaha di antara para mahasiswa







1 Komentar:

Blogger Rizal mengatakan...

Good point. thanks

15 Oktober 2019 pukul 19.17

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda